Tuesday 2 February 2016

DI MANA ALLAH ??? PERBEZAAN PENDAPAT ULAMA.




حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَتَقَارَبَا فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ حَجَّاجٍ الصَّوَّافِ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ أَبِي مَيْمُونَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قَالَ
بَيْنَا أَنَا أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَا ثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَيَّ فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّي سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلَا ضَرَبَنِي وَلَا شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ وَإِنَّ مِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتِهِمْ قَالَ وَمِنَّا رِجَالٌ يَتَطَيَّرُونَ قَالَ ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُونَهُ فِي صُدُورِهِمْ فَلَا يَصُدَّنَّهُمْ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ فَلَا يَصُدَّنَّكُمْ قَالَ قُلْتُ وَمِنَّا رِجَالٌ يَخُطُّونَ قَالَ كَانَ نَبِيٌّ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ يَخُطُّ فَمَنْ وَافَقَ خَطَّهُ فَذَاكَ قَالَ وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا قَالَ ائْتِنِي بِهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا أَيْنَ اللَّهُ قَالَتْ فِي السَّمَاءِ قَالَ مَنْ أَنَا قَالَتْ أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

Diriwayatkan dari Atho' bin Yassar dari Mu`awiyah Bin Hakam Al Sulamiy: Ketika saya solat bersama Rasulullah Saw. ada seorang laki-laki yang bersin, lantas saya mendoakannya dengan mengucapkan yarhamukaLlah. 

Semua orang yang solat lantas melihat kepadaku dan aku menjawab: “Celaka kedua orang tua kalian beranak kalian, ada apa kalian melihatku seperti itu?!” 

Kemudian mereka memukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Aku tahu mereka memintaku untuk diam, maka akupun diam. Ketika telah selesai Rasul Saw. menunaikan solat, demi ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat sebelum dan sesudahnya seorang guru yang lebih baik cara mendidiknya daripada Rasul saw.. 

Demi Allah, beliau tidak menjatuhkanku, tidak memukulku, dan juga tidak mencelaku. Beliau hanya berkata: “Sesungguhnya solat ini tidak boleh ada perkataan manusia di dalamnya. Di dalam shalat hanyalah terdiri dari tasbih, takbir dan bacaan al Qur`an.” Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul saw.. 

Aku kemudian menjawab: “Wahai Rasul Saw. sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang islam. Dan sesungguhnya diantara kami masih ada yang mendatangi para dukun. 

Baginda berkata: “Jangan datangi mereka!” Aku kemudian menjelaskan bahawa diantara kami masih ada yang melakukan tathayyur (percaya terhadap kesialan dan bersikap pesimistis). 

Baginda mengatakan: “Itu hanyalah sesuatu yang mereka rasakan di dalam diri mereka, maka janganlah sampai membuat mereka berpaling (Kata Ibnu Shabbah: maka janganlah membuat kalian berpaling). 

Kemudian ia melanjutkan penjelasan: Aku berkata: dan sesungguhnya diantara kami ada yang menulis dengan tangan mereka. 

Rasul Saw. berkata: dari kalangan Nabi juga ada yang menulis (khat) dengan tangan, barangsiapa yang sesuai apa yang mereka tulis, maka beruntunglah ia. 

Dia kemudian berkata: saya memiliki seorang hamba perempuan yang mengembalakan kambing di sekitar bukit Uhud dan Jawwaniyyah. Pada suatu hari aku memperhatikan ia mengembala, ketika itu seekor serigala telah memangsa seekor kambing. Aku adalah seorang anak manusia juga. Aku bersalah sebagaimana yang lain. Kemudian aku menamparnya (hamba wanita) dengan sekali tamparan. Maka kemudian aku mendatangi Rasul Saw.. 

Rasul Saw. menganggap itu adalah suatu hal yang besar bagiku. Akupun berkata: “Apakah aku mesti membebaskannya?” Rasul  Saw. menjawab: “Datangkanlah ia kesini!”. 

Kemudian akupun mendatangkan hamba wanita tersebut ke hadapan Rasul Saw.. Rasul Saw. kemudian bertanya: 

“Dimanakah Allah?”, maka ia (budak wanita) menjawab: “Di langit”, Rasul Saw. bertanya lagi: “Siapa aku?”, maka ia menjawab: “Anda Rasul Allah”. Lalu Rasul Saw. bersabda: “Bebaskanlah ia kerana ia adalah seorang yang beriman” (HR. Muslim)

Hadits ini riwayat Muslim, walaupun dia kuat secara sanad tetapi lemah secara matan. Kerana hadits ini adalah hadits idhtirob, iaitu hadits yang berbenturan redaksinya terhadap redaksi hadits dari jalur periwayatan yang lain. Cuba lihat hadits Muslim ini yang menggunakan redaksi: "Dimana Allah" dan bandingkan dengan dua hadits lain di atasnya yang menggunakan redaksi  "Apakah engkau bersaksi bahawa tidak ada tuhan selain Allah?"

Secara konteks, jelas pertanyaan: "Apakah engkau bersaksi bahawa tidak ada tuhan selain Allah?" lebih tepat daripada pertanyaan "Dimana Allah" dalam membuktikan iman seorang hamba. Ertinya apa? Ada kemungkinan besar terjadi perubahan lafaz oleh salah satu perawi dalam hadits Muslim. Sebagaimana telah masyhur bahawa Imam Muslim juga terkadang meriwayatkan hadits dengan makna dan bukan dengan teks

Dan jika ditimbang dengan ushul-ushul aqidah kita Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang disimpulkan dari Alquran dan Sunnah, sangat mustahil Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menanyakan tempat Allah dimana, sebab Rasulullah adalah orang yang faham betul bahawa laisa kamitslihi syai'un itu berlazimkan Allah tiada bertempat sebagaimana makhluk bertempat.

Kalaupun memang benar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya seperti itu, bukan bererti Rasulullah ingin mengetahui tempat Allah  tetapi hanya ingin menguji iman hamba tersebut, apakah menyembah Allah atau menyembah berhala.

Lalu kenapa Imam Muslim dengan beraninya menuliskan dalam shohihnya dengan redaksi "dimana Allah"? Apa beliau gak takut dibilang menyamakan Allah dengan makhluk?!

Jawabnya kerana Imam Muslim adalah seorang salaf, salaf itu fitrahnya lurus, hatinya bersih, lughahnya fasih, akalnya baligh dan bashirohnya jernih. Ketika mereka mendengar Allah 'di langit', 'tangan' Allah, 'wajah' Allah, 'bayangan' Allah dan sebagainya sebagaimana yang terdapat di dalam nash-nash alquran dan sunnah, mereka tidak memaknakannya secara zhohir, tetapi mereka memaknakannya sesuai dengan yang diridhoi Allah dan yang layak bagi Allah. Inilah yang menyebabkan mereka diam dan tidak banyak komen, kerana mereka semua masing-masing sudah tahu bagaimana seharusnya bermua'ammalat terhadap nash-nash mutasyabihat; cukup mengimani saja, yakini datangnya dari Allah, tak perlu ditafsir2kan.

يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ

"…mereka berkata kami beriman dengan ayat-ayat mutasyabihat…" (Ali Imran:7)


Jadi tidak heranlah sebagaimana yang terjadi pada sekelompok kaum muslimin saat ini dimana mereka begitu menggembar-gemborkan ayat-ayat mutasyabihat. Sehinggakan mahu  masuk kuliahpun ujian seleksinya yang ditanyanya adalah: "dimana Allah?". Mahu dapat biasiswa juga ditanyanya "dimana Allah?" Bimbang nanti mahu melamar anaknya juga  ditestnya: "dimana Allah?"


Kalimat tanya "dimana Allah?" ini tidak dimasyru'kan dalam syariat. Ini adalah bid'ah terbesar yang pernah ada dimuka bumi.

وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار

"Setiap yang bid'ah adalah sesat dan setiap yang sesat di neraka" (HR Muslim)

Jangan tergelincir dengan zahir teks hadits hamba riwayat Muslim di atas. Para ulama dan ustadz sudah memberikan tabayunnya.  Bukalah mata kepala kita, buka mata hati kita. Jangan baca satu riwayat saja, jangan baca satu pendapat saja, jangan ikut satu kelompok saja!

Syaikh Abdushomad Al-Falembangi, Syaikh Arsyad Al-Banjari, Syaikh Abd. Wahab Bugis, & Syaikh Abdurrahman Mashri

Kita bukan salaf, tapi hanya boleh mencontohi apa yang mereka perbuat. Namun amal ibadah kita tak akan mampu mengimbangi amal ibadah salaf. Hasil mujahadah kita tak akan mampu menyamai  hasil mujahadah salaf. Begitu pula pemahaman kita terhadap nash-nash alquran tidak akan mampu menyamai pemahaman mereka terhadap nash-nash alquran. 


Kita hanya mampu membaca alquran sampai kerongkongan saja, sementara mereka sampai kepada hati yang terdalam. Kita memahami 'wajah' Allah hanya sebatas wajah saja, sementara mereka memahami wajah Allah bukan hanya wajah itu, tapi lebih daripada itu, wajah dalam pengertian sesuatu yang tak terdefinisikan lagi dan tak terungkapkan, maka mereka banyak yang diam, tak banyak komplain dan berkata kepada orang: "Serahkan saja kepada Allah  maknanya" seolah-olah mereka ingin mengatakan hanya Allah yang mampu mengungkapkan maknanya sebab itu 'kata-kata' Allah.

كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا

"…semuanya itu adalah dari Tuhan kita" (Ali Imran:7)

Kita hanya mampu imroruha kama ja'at (melewatinya sebagaimana ia datang), jadi jangan diapa-apa, jangan ditafsiri, jangan ditakyif, janganditasybih dan juga jangan dita'thil, sebab: tafsiruha qiro'atuha (tafsirnya adalah bacaannya) bukan makna zhahir lughawinya.

Apapun yang terlintas di benak kita, maka kembalikanlah kepada ayat-ayat yang muhkamat. Ayat muhkamatlah sebagai ummul qur'an, tempat kita kembali kepada 'ibu' kita ketika kita menemukan problem dan merasakan kesamaran di dalam ayat-ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat tempat kita berpedoman dalam membangun ushul-ushul aqidah kita. Adapun ayat-ayat mutasyabihat hanya untuk menguji kita, cukup imani saja  Dan di antara ayat muhkamat itu adalah:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ 

Tidak  serupa dengan-Nya segala sesuatu dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat" (Asy-Syura: 11)


Mafhum dari ayat Asy-Syura di atas adalah Allah tidak sama dengan apa-apapun dalam bentuk apa-apapun.

Maka imamnya ahlul bait Imam Ja'far Shodiq radhiyallahu anhu jauh-jauh hari sudah mengajarkan kepada kita semua suatu rumus agar kelak kita tidak terombang-ambing dalam kebingungan kepikir akan Dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala, iaitu rumus:

كل ما خطر ببالك فالله بخلاف ذالك

"Segala apa yang terlintas di benak kamu, maka Allah tidak sama dengan itu"

Wallahu a'lam.



حدث عبد الوهاب بن عبد الحكيم الوراق بقول ابن عباس ما بين السماء السابعة إلى كرسيه سبعة آلاف نور وهو فوق ذلك ثم قال عبد الوهاب من زعم أن الله ههنا فهو جهمي خبيث إن الله عزوجل فوق العرش وعلمه محيط بالدنيا والآخرة

‘Abdul Wahhab bin ‘Abdil Hakim Al Warroq menceritakan perkataan Ibnu ‘Abbas, “Di antara langit yang tujuh dan kursi-Nya terdapat 7000 cahaya. Sedangkan Allah berada di atas itu semua.” Kemudian ‘Abdul Wahhab berkata, “Barangsiapa yang mengklaim bahawa Allah itu di sini (di muka bumi ini), maka Dialah Jahmiyah yang begitu jelek. 

Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy, sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu di dunia dan akhirat.”

Adz Dzahabi menceritakan, bahawa pernah ditanya pada Imam Ahmad bin Hambal, “Alim mana lagi yang jadi tempat bertanya setelah engkau?” Lantas Imam Ahmad menjawab, “Bertanyalah pada ‘Abdul Wahhab bin Al Warroq”. Beliau pun banyak memujinya.


قال عبد الرحمن بن محمد الحنظلي الحافظ أخبرني حرب بن إسماعيل الكرماني فيما كتب إلي أن الجهمية أعداء الله وهم الذين يزعمون أن القرآن مخلوق وأن الله لم يكلم موسى ولا يرى في الآخرة ولا يعرف لله مكان وليس على عرش ولا كرسي وهم كفار فأحذرهم

‘Abdurrahman bin Muhammad Al Hanzholi Al Hafizh berkata, Harb bin Isma’il Al Karmani menceritakan padaku terhadap apa yang ia tulis padaku, “Sesungguhnya Jahmiyah benar-benar musuh Allah. Mereka mengklaim bahawa Al Qur’an itu makhluk. Allah tidak berbicara dengan Musa dan juga tidak dilihat di akhirat. Mereka sungguh tidak tahu tempat Allah di mana, bukan di atas ‘Arsy, bukan pula di atas kursi-Nya. Mereka sungguh orang kafir. Waspadalah terhadap pemikiran sesat mereka.”

Adz Dzahabi mengatakan bahawa Harb Al Karmani adalah seorang ulama besar di daerah Karman di zamannya. Ia mengambil ilmu dari Ahmad dan Ishaq.

Pelajaran penting:

Penisbatan tempat bagi Allah tidaklah ada petunjuknya dari Allah dan Rasul-Nya, tidak pula ditunjukkan oleh perkataan sahabat dan selainnya. Yang sepantasnya adalah kita tidak menyatakan Allah memiliki tempat agar tidak membuat orang salah sangka. Namun yang dimaksud dari perkataan di atas adalah penjelasan Al Karmani selanjutnya, “Mereka sungguh tidak tahu tempat Allah di mana, bukan di atas ‘Arsy, bukan pula di atas kursi-Nya”.


قال عثمان الدارمي في كتاب النقض على بشر المريسي وهو مجلد سمعناه من أبي حفص بن القواس فقال قد إتفقت الكلمة من المسلمين أن الله فوق عرشه فوق سمواته وقال أيضا إن الله تعالى فوق عرشه يعلم ويسمع من فوق العرش لا تخفى عليه خافية من خلقه ولا يحجبهم عنه شيء

‘Utsman Ad Darimi berkata dalam kitabnya “An Naqdu ‘ala basyr Al Marisi” dan kitab tersebut sudah berjilid, kami mendengarnya dari Abu Hafsh bin Al Qowus, ia berkata, “Para ulama kaum muslimin telah sepakat bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit. ” Beliau pun berkata, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengar (segala sesuatu) dari atas ‘Arsy-Nya, tidak ada satu pun makhluk yang samar bagi Allah, dan tidak ada sesuatu pun yang terhalangi dari-Nya.”

Pelajaran penting:

Dari perkataan ‘Utsman Ad Darimi di sini kita dapatkan lagi satu klaim ulama yang menyatakan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama. Sebagaimana klaim ijma’ ini telah kita temukan pada perkataan Ishaq bin Rohuwyah, Qutaibah, dan Abu Zur’ah Ar Rozi. Lantas masihkah ijma’ ini dibatalkan hanya dengan logika yang dangkal?! Renungkanlah!


Abu Muhammad Ad Darimi, penulis kitab Sunan Ad Darimi

Adz Dzahabi mengatakan,

وممن لا يتأول ويؤمن بالصفات وبالعلو في ذلك الوقت الحافظ أبو محمد عبد الله بن عبد الرحمن السمرقندي الدارمي وكتابه ينبيء بذلك

“Di antara ulama yang tidak mentakwil (memalingkan makna) dan benar-benar beriman dengan sifat Allah al ‘Uluw (yaitu Allah berada di ketinggian) saat ini adalah Al Hafizh Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman As Samarqindi Ad Darimi. Dalam kitab beliau menjelaskan hal ini.”

Pelajaran penting:

Di antara buktinya adalah Ad Darimi membawakan dalam akhir-akhir kitabnya, “Bab memandang Allah Ta’ala” dan Bab “Kejadian di hari kiamat dan turunnya Rabb”. Ini jelas menunjukkan bahwa beliau meyakini Allah berada di ketinggian dan bukan berada di muka bumi ini sebagaimana klaim orang-orang yang sesat.



Bagaimana dengan nash-nash Al-Qur'an dan Hadits berikut ini:

1. Firman Allah Azza wa Jalla :

نْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahawa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersamamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang.” [Al-Mulk: 16]

2.Pertanyaan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada seorang budak wanita:

أَيْنَ اللهُ ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: مَنْ أَناَ؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ، قَالَ: أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ.

“Dimana Allah?” Ia menjawab: “Allah itu di atas langit.” Lalu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Siapa aku?” “Engkau adalah Rasulullah,” jawabnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang Mukminah.”(Hadits shahih riwayat Muslim (no. 537), Abu ‘Awanah (II/141-142), Abu Dawud (no. 930), an-Nasa-i (III/14-16), ad-Darimi (I/353-354), Ibnul Jarud dalam al-Muntaqaa’ (no. 212), al-Baihaqi (II/249-250) dan Ahmad (V/447-448), dari Sahabat Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami Radhiyallahu anhu.)

3. Hadits tentang kisah Isra’ dan Mi’raj.

Yaitu sebuah hadits yang mutawatir,

فَحُمِلْتُ عَلَيْهِ فَانْطَلَقَ بِي جِبْرِيْلُ حَتَّى أَتَى السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَاسْتُفْتِحَ.

‘Lalu aku dinaikan ke atasnya, maka berangkatlah Jibril bersamaku hingga sampai ke langit yang terendah (langit dunia), ia pun mohon izin agar dibukakan (pintu langit).’ (HR. Al-Bukhari (no. 3887) dan Muslim (no. 164 (264)) dari Sahabat Malik bin Sha’sha’ah z. Lihat lafazh hadits ini selengkapnya pada pembahasan ke-25: Isra’ dan Mi’raj di halaman 254.)

4. Jawaban Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada Dzul Khuwasyirah yang menyuruh berlaku adil dalam masalah rampasan perang Hunain:

أَلاَ تَأْمَنُوْنِي وَأَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ؟

“Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan aku dipercaya oleh Allah yang ada di atas langit?” (HR. Al-Bukhari (no. 4351), Muslim (no. 1064) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri.)

2 comments:

Anonymous said...

Ttg Dzat, Nabi saw larang pikir pun, apatah lg duk bincang; apa, bgmn, di mana ?
Semua tu bid'ah belaka, Sahabat Sahabat r.anhum. tak pernah pun tanya Nabi saw. Sbb tu Imam imam kita takwil, utk menjawab curiosity berlebihan manusia manusia yg datang kemudian, ayat ayat atau hadis yg zahirnya mcm merujuk Dzat, ditakwilkan dgn sifat sifat Kesempurnaan Allah swt. Namun begitu makna hakikinya tetap diserah kpd Yg Memfirmankannya.

Imam imam kita duk ulas sifat 20 tu, sifat sifatNya bukan Dzat, supaya kita kenal Dia. Kan ke seseorg tu dikenal melalui sifat sifatnya.

Perkara ni Imam imam kita dah selesaikan lbh 1200 tahun dulu, bila kita kita hari ni duk rasa dah alim sgt nak tafsir sendiri, mcm mcm jadiknya. Kalau takat tau bahasa Arab ajer, layak ke nak tafsir Quran ?

Anonymous said...

artikel macam ini boleh menjana minda saya yang agak jahil ni.dari tak tahu saya boleh jadi tahu walaupun sedikit.memanglah imam2 kita dah selesaikan perkara ini 1200 tahun dulu.tapi sekarang manusia nya sudah bukan manusia 1200 tahun dahulu.manusia sentiasa berubah,jadi mereka tentulah dahagakan ilmu pengetahuan.jadi orang macam kamu yang tahu serba serbi tolonglah kongsi ilmu kamu tu.jangan pulak meremehkan kealiman orang lain.masuk sini bincang bukan perlekeh!