Jakarta - Biksu Buddha Ashin Wirathu mendadak jadi sorotan dunia. Tragedi pembantaian dan pengusiran Muslim Rohingya banyak dikaitkan dengan Ashin. Wajahnya yang tenang, pakaiannya yang sederhana seperti biksu pada umumnya ternyata jauh bertolak belakang dengan apa yang dilakukannya.
Media barat tak kurang mulai dari Majalah Time, New York Times, sampai Washington Post melabelinya sebagai pembenci muslim. Ashin Wirathu disebut sebagai penggerak kaum Buddha di Myanmar menyerang Muslim Rohingya.
Media barat tak kurang mulai dari Majalah Time, New York Times, sampai Washington Post melabelinya sebagai pembenci muslim. Ashin Wirathu disebut sebagai penggerak kaum Buddha di Myanmar menyerang Muslim Rohingya.
Wajah Ashin menghias sample Majalah Time, ’The Face of Buddhist Terror’ demikian judul besarnya. Time juga di dalam berita menyebut sosok Ashin Wirathu sebagai Bin Laden Bangsa Burma.
“Sekarang bukan saatnya untuk diam,” kata Ashin seperti dikutip Time, Rabu (20/5/2015). Apa yang disampaikan biksu berumur 46 tahun itu merujuk kepada kekerasan yang dilakukan pada Muslim Rohingya.
Sosok Ashin ini tak hanya menarik minat Time saja, The Washington Post juga menyorot sepak terajang Ashin yang disebut sebagai pemimpin dalam pergerakan pembantaian Rohingya.
“Kamu bisa saja penuh cinta dan kebaikan, tapi kamu tidak akan bisa tidur tenang di sebelah anjing gila,” tutur Ashin seperti mengutip Washington Post. Anjing gila yang dimaksud Ashin tak lain merujuk pada Muslim Rohingya.
Ashin pun dengan terang-terangan di depan ‘jemaah’nya dalam ceramah di sebuah kuil menyebut Muslim Rohingya sebagai musuh. New York Times menulis jelas bagaimana kebencian Ashin pada kaum Rohingya.
“Saya bangga disebut sebagai umat Buddha garis keras,” tutur Ashin seperti dikutip dari New York Times.
Kini keadaan muslim Rohingya memang membimbangkan. Mereka terusir dari rumah mereka di Myanmar. Pemerintah setempat pun bahkan tak boleh berbuat banyak terhadap kekerasan yang terjadi. Mereka memilih untuk pergi menjadi pengungsi.
Ada ribuan muslim Rohingya yang saat ini terdampar di Aceh dan Sumatera Utara. Mereka tak mau kembali ke Myanmar kerana menghadapi pembantaian.
No comments:
Post a Comment