Sunday 31 January 2016

LAKSAMANA KEUMALAHAYATI LAKSAMANA WANITA PERTAMA DI DUNIA !!!



Aceh, adalah salah satu Propinsi Indonesia yang terletak di ujung Barat Laut Pulau Sumatera, diapit oleh dua laut, yaitu Lautan Indonesia dan Selat Melaka. 


Posisi itu menempatkan Aceh sebagai tempat yang sangat strategis, kerana merupakan pintu gerbang lalulintas perdagangan dan pelayaran internasional. Mengingatkan letaknya yang sangat strategis ini, maka tidak mengherankan jika pada zaman Kerajaan Aceh dahulu, banyak didatangi oleh berbagai bangsa asing dengan berbagai kepentingan perdagangan, diplomasi dan sebagainya. 


Kedatangan berbagai bangsa Asing merupakan hal yang penting bagi perkembangan Aceh itu sendiri, baik secara politik, kultural maupun ekonomi. Meskipun demikian, di antara bangsa-bangsa asing yang datang tersebut tidak semua menguntungkan bagi Kerajaan Aceh. 


Hal ini terbukti dengan adanya bangsa yang ingin menguasai daerah untuk kepentingan kolonial dan imperialismenya. Munculnya imperialisme dan kolonialisme menimbulkan antagonisme dan reaksi dari berbagai pihak yang merasa dirugikan. 


Bangsa asing pertama yang melakukan hubungan dengan Kerajaan Aceh dan kemudian menimbulkan konflik adalah bangsa Portugis. Setelah berhasil menduduki Malaka pada tahun 1511, Portugis bermaksud menguasai daerah-daerah lain, termasuk aceh untuk dijadikan sebagai daerah jajahannya. 


Konflik Aceh versus Portugis tersebut boleh dikata cukup lama dan berlangsung sepanjang abad ke 16 hingga akhir perempat abad ke 17.. Dalam usahanya menghancurkan armada Portugis di Selat Malaka, Aceh bekerja dengan sesama Kerajaan Islam lainnya di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Islam Denmark di Jawa. 


Pada tahun 1521 Angkatan Laut Aceh bersama Armada Patiunus (Pangeran Sabrang Lor) menyerang Melaka. Walaupun dalam penyerangan tersebut mengalami kegagalan, Aceh tidak putus asa. Di waktu-waktu selanjutnya, terus dilakukan penyerangan-penyerangan yang menyebabkan Portugis tidak aman di Melaka. 


Dalam pertempuran laut yang berlangsung cukup lama tersebut, muncullah tokoh-tokoh dan figur-figur terkemuka dari kedua belah pihak. Hal ini dapat kita lihat dari karya-karya penulis asing maupun penulis bangsa Indonesia yang melukiskan kepahlawanan dan semangat juang para panglimanya. 


Tentang sejarah Aceh dapat ditemukan sejumlah nama yang pernah menjadi figur yang layak diteladani. Salah satu dari tokoh-tokoh pahlawan Aceh di antaranya ialah Laksamana Keumala Hayati, yang secara tradisional disebut oleh orang Aceh dengan nama Malahayati atau Hayati saja. (Van Zeggelen, 1935 : 89). H.M. Z,ainuddin, 1961 :294). 


Riwayat Masa Remaja Laksamana Keumalahayati 


Pada masa kejayaan Aceh, akhir abad XV, Aceh pernah melahirkan seorang tokoh wanita bernama Keumalahayati. Adapun nama Keumala dalam bahasa Aceh itu sama dengan kemala yang berarti sebuah batu yang indah dan bercahaya, banyak khasiatnya dan mengandung kesaktian. (Poerwadarminto, 1989 : 414). 


Berdasarkan sebuah manuskrip (M.S.) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia  berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari kalangan bangsawan Aceh, dari kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu. Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah.Datuknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. 


Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. (Rusdi Sufi, 1994 : 30-33). 


Jika dilihat dari silsilah Keumalahayati dapat dipastikan bahawa dirinya berasal dari darah biru, yang merupakan keluarga bangsawan keraton. Ayah dan datuknya Keumalahayati pernah menjadi Laksamana Angkatan Laut, sehingga jiwa bahari yang dimiliki oleh ayah dan datukknya sangat berpengaruh pada perkembangan pribadinya, seperti kata pepatah, "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". 


Sekalipun dirinya hanya seorang wanita, ia juga ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan datuknya. 


Pada masa Keumalahayati masih remaja, Kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Makdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Laut, dengan para instrukturnya sebagian berasal dari Turki. 


Sebagai anak seorang Panglima Angkatan Laut, Keumalahayati mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan yang ia inginkan. Setelah melalui pendidikan agama di Meunasah, RanAkang dan Dayah, Keumalahayati berniat mengikuti karier ayahnya yang pada waktu itu telah menjadi Laksamana. Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, Keumalahayati bercita-cita ingin menjadi pelaut yang hebat. 


Untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pelaut, dia kemudian ikut mendaftarkan diri sebagai calon  di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis. Berkat kecerdasan dan ketangkasannya, ia diterima sebagai siswa akademi militer tersebut. Pendidikan militer pada tahun pertama dan kedua ia lalui dengan sangat baik, kerana ternyata dia adalah seorang  wanita yang berprestasi sangat memuaskan. 


Sebagai tentera yang cekap dan mempunyai prestasi yang sangat menonjol telah membuatkannya sangat dikenal di kalangan para tentera lainnya, termasuk juga para tentera yang setingkat lebih tinggi dari dirinya. Maka tidak mengherankan kalau banyak mahasiswa di Akademi Militer tersebut yang sayang padanya. 


Pada suatu saat di Kampus Akademi Militer Mahad Baihil makdis tersebut, Keumalahayati berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior dari dirinya. Perkenalan berlanjutan hingga membuahkan benih-benih kasih sayang antara pria dan wanita. 

Setelah tamat pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, keduanya akhirnya menikah sebagai suami-isteri yang bahagia. Sejarah akhirnya mencatat, bahawa pasangan suami-isteri alumni dari Akademi Militer ini menjadi Perwira Tinggi Angkatan Laut Aceh yang gagah berani dalam setiap pertempuran laut melawan armada Portugis. 


Komandan Protokol lstana Sebagai seorang perwira muda lulusan Akademi Militer Baitul Makdis di Aceh dan memiliki prestasi pendidikan yang sangat memuaskan, Keumalahayati memperoleh kehormatan dan kepercayaan dari Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil (1589- 1604), diangkat menjadi Komandan Protokol lstana Darud-Dunia dari Kerajaan Aceh Darussalam. 


Jawatan sebagai Komandan Protokol lstana bagi Keumalahayati adalah merupakan jawatan yang tinggi dan terhormat. Jawatan tersebut sangat besar tanggungjawabnya, kerana di samping menjadi kepercayaan Sultan, juga harus menguasai soal etika dan keprotokolan sebagai mana lazimnya yang berlaku di setiap istana kerajaan di manapun di dunia. Bersamaan dengan pengangkatan Keumalahayati sebagai Komandan Protokol Istana, diangkat pula Cut Limpah sebagai komandan intelijen istana (geheimraad).(Rusdi Sufi, 1994 :31). 


Panglima Armada Inong Balee 


Sejarah hidup Keumalahayati mengingatkan kita pada perjalanan hidup Cut Nyak Dhien. Ketika suaminya yang bernama Teuku Umar gugur di medan perang melawan Belanda, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan suaminya. 

Demikian pula halnya dengan Keumalahayati. Ketika suaminya gugur dalam pertempuran laut melawan Portugis di perairan Selat Melaka, Keumalahayati bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya. Semangat juang dan kepahlawanannya dapat disejajarkan dengan Srikandi, seorang tokoh pahlawan wanita dalam kisah Mahabharata. 


Laksamana Keumalahayati Juga terkenal dengan sebutan “Srikandi dari Aceh”. 


Kisah kepahlawanan Keumalahayati dimulai ketika terjadi pertempuran laut antara armada Portugis versus armada Kerajaan semasa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil. Armada Aceh dipimpin sendiri oleh Sultan dan dibantu dua orang Laksamana. Pertempuran dahsyat yang terjadi di Teluk Haru tersebut berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sedangkan di pihak Aceh, kehilangan dua orang Laksamana dan 1000 (seribu) prajuritnya gugur. 


Salah seorang Laksamana yang gugur dalam pertempuran di Teluk Haru itu, adalah suaminya Keumalahayati, Komandan Protokol Istana Darud-Dunia. Adapun nama suami Keumalahayati yang ikut terbunuh dalam pertempuran tersebut belum dapat diketahui dengan pasti. 


Kemenangan armada Selat Malaka Aceh atas armada Portugis disambut dengan gembira oleh seluruh rakyat Aceh Darussalam. Begitu pula Keumalahayati merasa gembira dan bangga atas kepahlawanan suaminya yang gugur di medan perang. Walaupun dirinya bangga, ia juga geram dan marah pada Portugis. Maka tidak mengherankan jika ia ingin menuntut balas atas kematian suaminya dan bersumpah akan terus memerangi Portugis. 


Untuk melaksanakan niatnya, ia mengajukan permohonan kepada Sultan Al Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang prajurit-prajuritnya semua wanita-wanita janda, yang suami mereka gugur dalam pertempuran Teluk Haru. Mengingatkan Keumalahayati adalah seorang prajurit yang cekap dan alumni dari Akademi Militer, maka dengan senang hati Sultan mengabulkan permohonannya. 


Untuk itu Keumalahayati diserahi tugas sebagai panglima armada dan diangkat menjadi Laksamana. Armada yang baru dibentuk tersebut diberi nama Armada Inong Balee (Armada Wanita janda) dengan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai pangkalannya, atau nama lengkapnya Teluk Lamreh Krueng Raya. Di sekitar Teluk Krueng Raya itulah Laksamana Keumalahayati membangun benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan yang tingginya sekitar 100 meter dari permukaan laut. 


Tembok yang menghadap laut lebarnya 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu Teluk. Benteng yang dalam istilah Aceh disebut Kuta Inong Balee (Benteng Wanita Janda) tersebut, hingga sekarang masih dapat kita saksikan di Teluk Krueng Raya . 


Armada Inong Balee ketika dibentuk hanya berkekuatan 1000 orang janda muda yang suaminya gugur di medan perang laut Haru. Dan jumlah pasukan tersebut, oleh Laksamana Keumalahayati diperbesar lagi menjadi 2000 orang. Tambahan anggota ini bukan lagi janda-janda, tetapi para gadis remaja yang ingin bergabung dengan pasukan Inong Balee yang dipimpin Laksamana Keumalahayati. (A. Hasjmy, 1980: 3). 


Keumalahayati adalah seorang wanita Aceh pertama yang berpangkat Laksamana (Admiral) Kerajaan Aceh dan rnerupakan salah seorang pemimpin armada laut pada masa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah Al Mukammil (1589-1604) yang popular disebut dengan Sultan Al Mukammil saja. (J. Davis dalam Jacobs, 1894 : 185). 


Sebelum diangkat sebagai Panglima Perang Laut (Laksamana), Keumalahayati pernah menjawat sebagai pemimpin pasukan ketenteraan wanita di Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935 : 89). 


Setelah Keumala Hayati sukses menunaikan tugas sebagai Kepala Pasukan Wanita Kerajaan Aceh, ia diangkat oleh Sultan menjadi Admiral (Laksamana), sebuah pangkat tertinggi dalam militer. (Davis dalam Yacobs, 1894). 


Pada saat berkuasa, usia Sultan sudah sangat tua (95 tahun). Maka tidak mengherankan jika di istana sering terjadi berbagai usaha untuk menyingkirkan Sultan dari kursi kerajaan. (Wap, 1862 : 12). 


Hal itu menyebabkan Sultan menjadi tidak percaya pada setiap laki-laki yang dianggapnya akan mencungkil dirinya dari singgahsana. Sultan sudah trauma dengan para laki-laki yang dianggapnya telah menyalah gunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan dirinya. Mungkin kerana kecurigaannya terhadap kaum laki-laki (Davis dalam Jacobs, 1894), Sultan akhirnya pada keputusan untuk mengangkat seorang wanita sebagai Laksamana. 


Kemungkinan tersebut semakin jelas ketika Sultan mengangkat Malahayati sebagai Laksamana. Sultan juga mengangkat seorang Cut Limpah sebagai "dewan rahasia" istana yang oleh Van Zeggelen disebut sebagai "geheimraad ". (Van Zeggelen, 1935). 


Setelah memangku jawatan sebagai Laksamana, Keumala Hayati mengkoordinir sejumlah Pasukan Laut, mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah Syahbandar (Van Zeggelen, 1894 : 88-89) dan juga kapal-kapal jenis galay milik Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935 : 149). 


John Davis, seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nahkoda pada sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Keumala Hayati menjadi Laksamana, menyebutkan bahawa Kerajaan Aceh pada masa itu memiliki perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah kapal (galey), di antaranya ada, yang berkapasiti muatan sampai 400-500 penumpang. Yang menjadi pemimpin pasukan tersebut adalah seorang wanita berpangkat Laksamana. (Davis dalam Yacobs, 1894). 


Pada awal abad XVII, Kerajaan Aceh telah memiliki angkatan perang yang hebat. Kekuatannya yang terpenting adalah kapal-kapal galey yang dimiliki Angkatan Lautnya. Di samping itu, Angkatan Darat Kerajaan Aceh juga memiliki pasukan bergajah. Untuk mengawasi daerah kekuasaan dan daerah taklukannya, Kerajaan Aceh menempatkan kapal-kapal perangnya di pelabuhan-pelabuhan yarg berada di bawah kekuasaan atau di bawah pengaruhnya, misalnya Daya dan Pedir. Di antara kapal-kapal itu ada yang besarnya melebihi ukuran kapal-kapal yang dimiliki bangsa Eropah. (Braddel, 1851 : 19). 

Peristiwa Cornelis de Houtman 

Sejarah mencatat bahawa dalam pelayarannya yang pertama 4 buah kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de houtman pada tanggal 22 Jun 1596 berlabuh di pelabuhan Banten. (Solichin Salam, 1987 : 2). 

Setelah kembali ke negeri Belanda, dalam pelayarannya yang kedua armada dagang Belanda yang dipersenjatai seperti kapal perang menghadapi konflik bersenjata dengan Kerajaan Aceh pada tanggal 21 Jun 1599. Dua buah kapal Belanda yang bernama de Leeuw dan de Leeuwin berlabuh di ibukota Kerajaan Aceh. 

Kedua kapal tersebut masing-masing dipimpin oleh dua orang bersaudara yang bernama Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman. Pada awalnya kedua kapal Belanda tersebut mendapat sambutan baik dari pihak Aceh kerana darinya diharapkan akan dapat dibangun kerjasama perdagangan yang saling menguntungkan. Dengan kedatangan Belanda tersebut berarti Aceh akan dapat menjual hasil-hasil bumi, khususnya lada kepada Belanda. 

Namun dalam perkembangannya, akibat adanya hasutan yang dilakukan oleh seorang berkebangsaan Portugis yang kebetulan sedang berbaik dengan Kerajaan Aceh sehingga dijadikan sebagai penterjemah Sultan. Akibat hasutan tersebut, Sultan menjadi tidak senang dengan kehadiran Belanda dan memerintahkan untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih berada di kapal. Kebetulan yang menjadi pemimpin penyerangan adalah Laksamana Keumala Hayati. 

Dalam penyerangan tersebut, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh dan Frederick de Houtman ditangkap dan disumbat ke dalam penjara. (Van Zeggelen, 1935 :157; Davis dalam Yacobs, 1984 : 180; Tiele, 1881 : 146-152). 

Frederick de Houtman merengkok dalam tahanan Kerajaan Aceh selama 2 tahun. Selama di penjara, ia menulis buku berupa kamus Melayu-Belanda yang merupakan kamus Melayu-Belanda pertama dan tertua di Nusantara. 

Peristiwa penyerangan kapal Belanda yang dilakukan oleh Laksamana Keumalahayati tersebut dilukiskan oleh Marie van C. Zeggelen dalam bukunya yang berjudul "Oude Glorie", hal. 157, yang dalam bahasa lndonesia kira-kira sebagai berikut : 

Di kapal Van Leeuw telah dibunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya Frederick Houtman, oleh Keumalahayati sendiri dan penukis rahasia diserang, kemudian sebagai tawanan dibawa ke darat. Davis dan Tomkins, keduanya terluka, tinggal di kapal bersama mereka yang mati dan cedera. Dan pada tengah hari kabel pengikat kapal diputuskan dan merekapun berlayarlah. 

Laksamana Keumalahayati Sebagai Seorang Diplomat Keumalahayati bukan hanya sebagai seorang Laksamana dan Panglima Armada Angkatan Laut Kerajaan Aceh, tetapi dia juga pernah menjadi Komandan pasukan Wanita Pengawal Istana. Lebih dari itu ia juga seorang diplomat dan juru runding yang handal. Hal ini telah dibuktikan dengan pelbagai pengalaman dalam amalan menghadapi counter part-nya dari Belanda maupun Inggris. 

Sebagai seorang tentera, Keumalahayati tegas dan disiplin yang tinggi, tetapi dalam menghadapi perundingan, la bersikap luwes tanpa mengorbankan prinsip. Sebagai seorang tentera dan panglima armada, la dapat bersikap tegas tanpa mengenal kompromi menghadapi lawan. Namun sebagai seorang diplomat Keumalahayati dapat bersikap ramah dan luwes dengan lawan berundingnya. Sosok diplomat wanita Aceh ini kelihatan berwibawa. 

Tidak berapa lama sesudah peristiwa Cornelis de Houtman, pada tanggal 21 November 1600 datang lagi, bangsa Belanda ke Kerajaan Aceh dengan dua buah kapal yang dipimpin oleh Paulus van Caerden (Wap, 1862: 13; Valentijn, 1862: 82).

Rupa-rupanya, sebelum memasuki Pelabuhan Aceh, mereka telah melakukan tindakan yang ceroboh,iaitu menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dulu memindahkan segala muatan lada dari kapal itu ke dalam kapal-kapal mereka dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan Pantai Aceh. 

Setelah peristiwa perompakan yang dilakukan oleh kapal Belanda terhadap kapal Aceh, datang lagi rombongan kapal Belanda yang dipimpin Laksamana Yacob van Neck. Mereka tidak mengetahui apa yang telah dilakukan oleh van Caerden. Sewaktu mendarat di ibukota Kerajaan Aceh pada tanggal 31 Jun l601, mereka memperkenalkan diri kepada Sultan Aceh bahawa mereka adalah pedagang bangsa Belanda dan datang ke Aceh untuk membeli lada. 

Setelah mengetahui rombongan yang datang tersebut adalah orang Belanda, Keumala Hayati langsung memerintahkan anak buahnya menahan mereka dan memperlakukan mereka secara tidak baik. Oleh Keumala Hayati diinfomiasikan bahwa dua buah kapal Belanda yang datang sebelumnya telah menenggelamkan kapal milik Aceh dan membawa sejumlah lada tanpa bayaran. Oleh kerana itu, sebagai ganti rugi Sultan telah memerintahkan untuk menawan setiap kapal Belanda yang berlabuh di perairan Aceh. (Yacobs, 1894 ; 189-198). 

Menjelang 23 Ogos 1601 pedagang-pedagang bangsa Belanda lainnya, di bawah pimpinan Gerard de Roy dan Laurens Bicker dengan 4 buah kapal masing-masing Zeelandia, Middelborg, langhre Bracke dan Sonne tiba di Pelabuhan Aceh. Kapal tersebut memang sengaja datang ke Aceh atas perintah pemerintah dari negeri Belanda untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Aceh. Keduanya mendapat perintah untuk menyampaikan beberapa hadiah dan sepucuk surat agar dipersembahkan kepada Sultan Aceh. 

Sebelum surat tersebut disampaikan kepada Sultan Aceh terjadilah perundingan antara Laksamana Keumalahayati dengan Laksamana Laurens Becker dan Komisaris Gerard de Roy dari kerajaan Belanda. Perundingan tersebut membuahkan hasil berupa : 

Terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Aceh. Selanjutnya sebagai ganjarannya,dibebaskannya Federijck de Houtman dari tahanan. Belanda harus membayar kerugian kapal-kapal Aceh yang dibajak oleh Van Caerden. Berkat kepandaian Keumalahayati berdiplomasi, akhirnya Belanda bersedia rnembayar kerugian sebesar 50.000 golden. (Teuku Abdul Jalil 1980 : 2-4). 

Setelah bertemu dengan Sultan Aceh, utusan tersebut mengakui betapa baik sambutan pihak Aceh kepada para pedagang Belanda ketika mereka pertama kali tiba di pelabuhan. Kerana adanya hasutan dari pihak luarlah Sultan dan aparatnya bertindak tidak baik terhadap para tamunya tersebut. Dalam surat tersebut, pemerintah Belanda meminta kepada Sultan Aceh untuk tidak rnempercayai hasutan-hasutan dari pihak luar. Dia memohon pula agar pihak Aceh bersedia membebaskan kembali orang-orang Belada yang ditawan. 

Laurens Bicker, sebagai salah seorang pemimpin rombongan menyampaikan rasa penyesalannya atas perbuatan yang telah dilakukan oleh van Caerden dan kawan-kawannya dahulu. Sekembalinya ke negeri Belanda, ia berjanji akan menuntut kompeni dagang van Caerden atas tindakannya yang main rampas. 

Bickers temyata tidak berbasa-basi dan janjinya kepada Kerajaan Aceh ia tepati. Hal itu terbukti dengan adanya hukuman denda yang dijatuhkan oleh Mahkamah Amsterdam atas van Caerden, berupa keharusan membayar denda sebesar 50.000 gulden kepada pihak Aceh dan wang sejumlah tersebut benar-benar dibayarkan kepada Aceh (de Jonge, 1862 : 234). 

Pihak Belanda yang dipimpin oleh Bickers ternyata berhasil meyakinkan pihak Aceh melalui Keumala Hayati. Oleh kerana itu Sultan Aceh kemudian bersedia menerima kehadiran mereka di istana Kerajaan. Mereka diizinkan berdagang di Aceh. Keumala Hayati diperintahkan membebaskan semua tawanan Belanda termasuk Frederick de Houtman. 

Peristiwa penting lainnya yang terjadi pada masa Keumala Hayati menjadi Laksamana adalah pengiriman tiga orang utusan Aceh menghadap Pemerintah dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. 

Ketiga utusan tersebut bernama Abdoel Hamid, Sri Muhammad, salah seorang perwira armada laut di bawah Keumala Hayati, dan Mir Hasan seorang bangsawan Kerajaan Aceh (Wap, 1862 : 17). 

Ketiganya merupakan duta Aceh pertama dari Kerajaan di Asia yang pernah dikirim ke Eropah (Negeri Belanda). Belanda yang pada saat itu sedang menghadapi Perang Kemerdekaan melawan penjajahan Spanyol yang dalam sejarah Belanda dikenal dengan Perang 80 Tahun, ketika menerima utusan dari Aceh disambut dengan upacara kenegaraan. 

Dalam upacara tersebut, hadir pula tamu-tamu terhormat dari beberapa negara Eropah yang menyaksikan pengakuan de jure dari Kerajaan Aceh. (Wap, 1862 : 17). 

Dengan demikian Republik Belanda yang baru lahir di bawah pimpinan Putera Maurits, pendiri Dinasti Oranye itu telah terangkat darjatnya di kalangan negara-negara Eropah. Salah seorang utusan dari Aceh yang bernama Abdoel Hamid, mengingat usianya yang sudah uzur (71 tahun), akhirnya meninggal di kota Middelburg dan dimakamkan di kota tersebut atas biaya Penguasa Kompeni Hindia Timur (VOC). (Wep, 1862: 18-19). 

Dua utusan lainnya kembali ke Aceh dengan selamat. Tiba pula giliran lnggeris bermaksud untuk menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Aceh. Untuk itu Ratu Elizabeth I (1558-1603) mengirim utusan ke Kerajaan Aceh. Sebagai realisasinya pada tanggal 6 Jun 1602 James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut Inggris bersama rombongannya tiba di Pelabuhan Aceh. Dia membawa sepucuk surat dari ratunya Elizabeth I untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh At Mukammil. (Jacobs, 1894 : 202). 

Setibanya di Aceh, sebelum bertemu dengan Sultan, Lancaster terlebih dahulu mengadakan perundingan dengan Laksamana Keumala Hayati. Pembicaraan itu dilakukan dengan bahasa Arab. Lancaster dapat mengerti bahasa itu kerana dia membawa serta seorang Yahudi dari Inggeris sebagai penterjemah dari bahasa Arab ke bahasa lnggeris. (Jacobs, 1894 : 202). 

Dalam perundingan tersebut, utusan lnggeris menyampaikan pentingnya menjalin kerja sama ekonomi dan perdagangan antara Inggeris dengan Kerajaan Aceh. Selain itu Lancaster meminta kepada Keumala Hayati agar tetap memusuhi Portugis dan berbaik hati pada orang-orang Inggeris. Dia meminta agar Aceh membantu utusan-utusan Inggeris di Aceh. 

Setelah perundingan selesai, Laksamana Keumala Hayati meminta pada Lancaster agar semua keinginan tersebut dimintakan atas nama Ratu Inggeris dan dibuat secara tertulis untuk disampaikan kepada Sultan Aceh. Setelah surat permohonan itu selesai dibuat, James Lancaster diperkenankan menghadap Sultan. Dengan didampingi Laksamana Keumala Hayati, Sultan akhirnya bersedia berunding dengan Lancaster sebagai wakil dari Ratu lnggris. 

Tampaknya Portugis tidak suka melihat kedatangan orang-orang Belanda dan lnggeris di Aceh. Oleh kerana itu mereka kemudian mendirikan benteng di Pulau yang terletak di Pantai Aceh. Hal itu kemudian ditentang oleh pihak Aceh dan merupakan batu ujian bagi Laksamana Keumalahayati. 

Menyelesaikan tipu muslihat 

Kerajaan Pada tahun 1603 Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Mukammil menempatkan anak laki-lakinya yang tertua sebagai pendampingnya di atas takhta Kerajaan Aceh. Oleh kerana berambisi ingin menjadi Sultan penuh, puteranya itu menyingkirkan si Ayah dari kedudukan sebagai Sultan dan mengangkat dirinya sebagai Sultan dengan menggunakan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607). 

Tahun-tahun pertama pemerintahan Sultan yang baru ini ditandai dengan adanya bencana-bencana yang menimpa Kerajaan Aceh, seperti adanya musim kemarau yang sangat panjang, pertikaian berdarah dengan saudaranya dan juga adanya ancaman dari pihak Portugis. Sultan nampaknya tidak mampu mengatasi kesulitan tersebut. 

Apalagi pemerintahannya sendiri berjalan dengan tidak memuaskan hati rakyat. Hal ini disebabkan kerana caranya mencapai kedudukan sebagai Sultan dengan menyingkirkan ayahnya sendiri. Rasa tidak puas juga disampaikan oleh Darmawangsa Tun Pangkat, seorang anak saudaranya sendiri yang kemudian ditangkap dan dipenjara atas perintah Sultan. 

Ketika orang-orang Portugis menyerang Aceh pada bulan Jun 1606. Darmawangsa masih berada di penjara. Penyerangan Portugis ke Aceh dipimpin oleh Alfonso de Castro. Sebagai orang Aceh, Darmawangsa tidak rela jika negerinya diserang musuh. Oleh kerana itu ia meminta pada Sultan untuk membebaskan dirinya dari tahanan, agar ia dapat ikut bertempur melawan Portugis. 

Dengan diperkuat oleh permintaan Laksamana Keumala Hayati, permohonan kemenakannya itu dikabulkan Sultan. Setelah bebas dari tahanan, Darmawangsa bersama Keumala Hayati menghadapi serangan Portugis. Pertempuran sengit di perairan Aceh pun terjadi. Berkat kecekapan dan kegigihan Laksamana Keumala Hayati dan Darmawangsa, akhirnya pasukan Portugis berhasil dihancurkan. 

Sultan sendiri kerana tidak cekap dan tidak disukai oleh rakyatnya  tidak bertahan lama di singgahsana. Dengan bantuan Laksamana Keumalahayati, akhirnya Darmawangsa Tun Pangkat berhasil menurunkan Sultan All Riayat Syah dari takhta kerajaan. 

Darmawangsa adalah tokoh yang cekap yang akhirnya menggantikan kedudukan Ali Riayat Syah sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Muda, yang memerintah Kerajaan Aceh mulai tahun 1607-1636 M. (Lombard, 1986 : 128-129). 

Pada masa kekuasaannyalah kerajaan Aceh mencapai zaman keemasannya. Selanjutnya mengenai kematian Laksamana Keumalahayati belum dapat diketahui kerana memang belum ada data atau petunjuk yang menerangkan kematiannya. Walaupun kelahiran dan kematiannya masih menjadi misteri, namun sepak terjang dan kepahlawanannya pantas dicatat dalam lembaran sejarah Aceh dengan tinta emas. 

Sebagai kesimpulan dari tulisan singkat ini, sejarah telah mencatat, bahawa Aceh pada abad ke 16 telah melahirkan seorang tokoh emansipasi wanita tidak sekedar dalam teori tetapi juga dalam kenyataannya telah membuktikan kemampuan seorang wanita yang menjadi pemimpin dan bahkan juga komandan pasukan. 

Sebagai seorang Komandan Armada Laut, komandan Pasukan Inong Balee dan seorang diplomat yang ulung, Keumalahayati akan terus dikenang dalam sejarah perjuangan bangsa. Ia akan tercatat sebagai seorang tokoh wanita yang patut dibanggakan tidak saja bagi masyarakat Aceh, tetapi juga menjadi kebanggaan seluruh bangsa Indonesia.

No comments: